Terimakasih sudah mengunjungi blog ini.
Jangan lupa follow ig. @edychandra00
Satyam eva jayate...!!
OLEH
Nama : EDY CHANDRA
Nim : 101 111 20
Kelas : V B ( Sore )
Jurusan : Pendidikan
KEMENTRIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI
GDE PUDJA MATARAM
2013
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas asung kertha wara nugrahanyalah sehingga
penyusun makalah ini yang berjusul “upakara
caru panca sata sebagai model pembelajaran hindu”
ini dapat terselesaikan dengan baik pada batas waktu yang sudah ditentukan.
Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak menghadapi kendala, baik dari
segi penyusunan kata-kata maupun dari
segi penyajiannya, penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman yang sifatnya kontraktif,
khususnya bagi Dosen pembimbing mata kuliah ini, sekiranya dapat memberikan
masukan demi pencapaian kesempurnaan makalah ini.
Tidak lupa penulis menyampaikan, ucapan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya, kepada dosen pembimbing serta pihak-pihak yang dapat membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini, akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca.
Om Santih, Santih, Santih Om
Mataram, 06 Januari 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Upacara Bhuta Yadnya........................................................... 3
2.2 Upakara Caru Panca
Sata........................................................ 3
2.3 Tatanan Upakara Caru
Panca Sata........................................... 4
2.4 Bentuk Upakara Caru
Panca Sata............................................ 6
2.5 Makna Upakara Caru
Panca Sata............................................ 13
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.............................................................................. 17
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Komonitas
masyarakat Hindu di Lombok khususnya di Kecamatan Selaparang Kota Mataram
semarak dengan realita kegiatannya melaksanakan suatu upacara yajna. Upacara yajna
tersebut antara lain: Dewa Yajna, Pitra
Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna dan Bhuta
Yajna. Ke lima (5) jenis upacara
yajna yang diuraikan tersebut di atas di kenal dengan istilah Panca Yajna.
Panca
Yajna ini merupakan suatu bentuk realisasi dari konsep ajaran Hindu yang di
sebut dengan Tri Rna yaitu tiga (3)
jenis hutang, yaitu hutang kepada Dewa
Rna yang aktualisasi pelaksanaannya Dewa
Yajna dan Bhuta Yajna, untuk Pitra Rna aktualisasi pelaksanaannya Pitra Yajna dan Manusa Yajna dan untuk Rsi
Rna aktualisasi pelaksanaannya Rsi
Yajna.
Bhuta
Yajna adalah yajna yang ditujukan
kepada para Bhuta, yang selalu
menyertai kehidupan manusia untuk menguji. Bhuta
merupakan unsur kekuatan yang tidak
kelihatan, namun besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Sebagaimana di ketahui Ida
Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan dua unsur yang berbeda
yang disebut Rwabineda (dua
yang berbeda) ada yang positif ada yang negatif, lahir bathin, nyata tidak
nyata, konkrit dan abstrak dan lainnya .
Upacara
Bhuta Yajna yang merupakan salah satu jenis dari upacara Panca Yajna ini yang dalam
pelaksanaannya ditujukan kepada Para Bhuta
Kala. Terkait dengan pelaksanaan upacara
tersebut disertai dengan menggunakan sarana penunjang yang disebut dengan upakara atau sesajen (banten) dan hal lainnya yang berkaitan dengan sarana
pelengkap upacara yajna tersebut.
Menurut Mas (1993:15) bahwa : “Upacara Bhuta Yadnya yang menyertai upacara-upacara
yang lain, misalnya: pada waktu perkawinan, penyucian suatu bangunan, piodalan dan lain-lainnya”.
Spesifik dengan jenis upakara yang digunakan dalam upacara Bhuta Yajna adalah yang
tergolong upakara tingkat madhya yaitu dengan penggunaan Caru Panca Sata. Caru Panca Sata ini digunakan sebagai penyerta dalam pelaksanaan upacara piodalan di Kecamatan Selaparang
Kota Mataram.
Realita
di masyarakat menurut informasi awal yang peneliti peroleh bahwa kurangnya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat Hindu Lombok terhadap pelaksanaan upacara Bhuta Yajna yang khususnya terkait dengan upakara Caru Panca Sata tersebut jarang di gelar di wilayah ini karena
dianggap sangat sulit baik dari pemilihan bahan dan strukturnya maupun dari
maknanya sehingga masyarakat lebih cendrung menggunakan upakara Caru Eka Sata saja.
Berdasarkan empiris
yang terjadi di lapangan bahwa Caru
Panca Sata ini sangat penting sekali untuk di angkat dan dikaji baik
mengenai bentuk, fungsi dan maknanya sehingga masyarakat Lombok khususnya di
Kecamatan Selaparang Kota Mataram akan menumbuhkan semangat baru untuk lebih
mempelajari, memahami esensi dari konsep ajaran agama Hindu yang kemudian
diaktualisasikan dalam bentuk Bhuta Yajna
di masyarakat yang dilandasi dengan
keikhlasan dan disesuaikana dengan tingkat upacara
yang di laksanakan. Tidak semata-mata dalam bentuk korban upakara tersebut digandrungi dengan ego
dan tidak memahami arti dari sebuah pengorbanan suci.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah, yaitu :
1.
Bagaimana bentuk upakara
caru panca sata yang digunakan oleh umat Hindu ?
2.
Apa Tatanan upakara caru panca sata
yang digunakan oleh umat Hindu ?
3.
Bagaimana
bentuk upakara
caru panca sata yang digunakan oleh umat Hindu ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Upacara Butha Yajña
Menutut Mas, (1993:15): Upacara Bhuta Yadnya merupakan salah
satu pelaksanaan tri rna khususnya dewa rna. “Butha” artinya unsur yang
diadakan”, diciptakan oleh Yang Maha Ada Ida Sang Hyang W idhi.
Kekuatan Tuhan dalam menciptakan unsur
alam semesta, pernyataan ini dapat dilihat lebih jelas dalam kitab Manawa
Dharma Çastra I, 6 yaitu:
Tatah
swayambhurbhagawān
Awyakto’wyañjayannidam
Mahābhutādi
wrrtujah
Prādurāsitta
manudah.
Artinya
:
Kemudian
dengan kekuatan tapa Nya, ia, Yang Maha Ada, menciptakan ini, Maha Bhuta (unsur
alam semesta) dan lainya nyata terlihat melenyapkan kegelapan ( Pudja dan
Sudharta, 2002:29).
Kata “bhuta” sering dirangkaikan dengan
kata “kala” yang artinya “waktu” atau “energi”. Bhuta kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya. Upacara ini
bertujuan untuk menjalin yang harmonis dengan bhuta kala dan memanfaatkan daya gunanya. Walaupun secara kenyataan
upacara dan upakara ditujukan kepada bhuta
kala, tetapi yang akan memberkati adalah Ida Sang Hyang Widhi (Mas, 1993:15).
2.2
Upakara Caru Panca Sata
Caru Panca Sata adalah jenis caru yang mempergunakan lima ekor ayam
dengan warna menurut lima mata angin (pangider-ideran) putih di Timur, merah
atau biying (wiring) di Selatan,
Hitam di Utara, putih kuning di Barat dan brumbun di Tengah.
Caru Panca Sata menjadi dasar caru pada tingkat yang lebih besar
selanjutnya. Jenis tawur pun memakai
dasar Caru Panca Sata ini. Termasuk Eka Dasa Ludra juga dasarnya caru ini. Jadi dengan demikian caru ini sangat penting sekali. Caru Panca Sata tidak cukup dengan lima
ekor ayam saja, melainkan di tambah dengan seekor meri blang kalung yang ditempatkan pada mata angin (pangideran)
Timut laut. Caru meri ini dianggap
sebagai caru “hulu”dari pada caru panca sato itu.
Penggunaan
jenis caru ini antara lain:
1.
Untuk membersihkan pekarangan rumah yang dilaksanakan
tiap lima tahun sekali.
2.
Untuk merebu-rebu
(mabersih) di parhyangan, setelah
adanya ke “cuntakan” atau bersama piodalan
dalam tingkat yang lebih besar.
3.
Di banjar atau desa adat setiap hari “ngerupuk” pada sasih kesanga. Atau ketika ada sesuatu
hal yang tidak wajar (Wikarman, 1998:24-25).
Sesajen-sesajen yang digunakan dalam upacara Bhuta Yadnya dapat dibagai menjadi 4
golongan yaitu:
1.
Sesajen yang tergolong sesayut atau sering disebut
tebasan, misalnya: byakala, prayascita, durmenggala, pamiyak kala dan lain-lainnya.
2.
Yang tergolong segehan, misalnya: segehan, nasi
takilan, nasi wong- wongan dan lain-lainnya.
3.
Yang tergolong Caru umpama: caru panca sata,
pangeruwak, panca kelud dan lain-lainnya.
4.
Yang tergolong Tawur (taur) misalnya: panca wali krama,
taur agung, taur gentuk, eka dasa ludra dan lain-lainnya (Mas, 1993:16-17).
2.3 Tatanan
Upakara Caru Panca Sato
Caru Panca Sato ini mcmpergunakan ayam lima
ekor dengan warna pangideran dan seekor meri blang kalung. Semua ayam ini dikuliti,
diambil bayang bayangnya.
Dagingnya diliolah dijadikan "urab
merah dan putih” dan sate asem
lembat. Demikian juga terhadap meri
itu. Lalu olahan ayam itu ditanding
dijadikan 33 tanding dengan pembagian,
untuk ditempatkan di Timur 5 tanding, di Selatan 9 tanding, di Barat 7 tanding, di Utara 4 tanding dan di Tengah 8 tanding. Olahan meri dijadikan ll tanding yang
akan ditempatkan di Timur Udik (Kaja kangin). Sega nasi cacahan dengan warna menurut pangider-ideran, putih 5
tanding, merah 9 tanding, kuning 7 tanding, hitam 4 tanding, dan brumbun
8 tanding. Satu unit bayuan yang
ditempatkan pada pangider-ideran tadi
termasuk juga pada Timur Udik, dengan
warna tumpeng sesuai pangideran. Pada
masing-masing Sanggah Cucuk diunggahkan
dananan, dan tetabhuan tuak arak
ditempatkan pada sujang. Disamping upakara
Caru tersebut juga disediakan banten upasaksi satu soroh
(tumpeng 6): peras, Penyeneng, pengambeyan lengkap dengan pesertanya. Dilengkapi pula dengan:Prayas-citta, Tebasan Durmanggala dengan lisnya,
panglukatan serta lengkap dengan eteh-etehnya sekalian dengan lis busungnya. Ditambah pula dengan satu
unit sesantun. Semua jenis Upakara
tersebut digelar dengan susunan sebagai berikut:
Dihulu dari areal pecaruan itu
ditempatkan banten upasaksi, dengan eteh-eteh panglukatan, upakara
panelahan
(prayascitta, durmanggala). Di Timur tempatkan Caru ayam putih. Dialasi "sengkwi" yang lembarannya 5 lembar.
Diatasnya bentangkan bayang-bayang
ayam putih, lalu olahan 5 tanding, diatasnya sega nasi putih 5 tanding. Kemudian tempatkan
satu unit bayuan
putih. Caru ini untuk sang kala Jangitan. Di Selatan,
tempatkan Caru Ayam biying
(wiring). Dialasi "sengkwi"
yang lembarannya 9 lembar. Di atasnya bentangkan bayang-bayang ayam biying itu, lalu olahan 9 tanding. Di atasnya nasi sega warna merah 9 tanding. Kemudian letakkan satu unit bayuan merah. Caru
ini untuk Sang Kala Langkir. Di Barat, tempatkan Caru ayam Putih Kuning. Dialasi sengkwi 7 lembar. Di atasnya bentangkan bayang-bayang ayam putih kuning itu,
lalu lengkapi dengan olahannya 7 tanding. Lengkapi
pula dengan sega nasi kuning 7
tanding. Kemudian letakkan satu unit bayuan
kuning. Caru ini untuk Sang Kala Lembu Kere. Di Utara, tempatkan Caru ayam hitam (ireng). Dialasi sengkwi
4 lembar. Di atasnya bentangkan bayang-bayang ayam hitam itu. Lalu disusun dengan olahannya
4 tanding. Kemudian sega
nasi hitam 4 tanding. Kemudian letakkan satu unit bayuan hitam. Caru ini
untuk Sang Kala
Bhuta Truna. Di tengah, tempatkan Caru ayam Brumbun. Dialasi sengkwi
8 lembar. Di atasnya dibentangkan bayang-bayang ayam brumbun itu,
disusun dengan olahannya 8 tanding. Dilengkapi dengan sega nasi mancawarna. Caru ini untuk Sang
Kala Tiga Sakti. Di Timur Laut. Tcmpatkan Caru Meri Blangkalung. Dialasi sengkwi 11 lembar dengan hulunya. Di atasnya bentangkan bayang-bayang meri tersebut. Lalu
dilengkapi dengan olahan dagingnya 11 tanding. Dilengkapi dengan sega nasi kalawu atau putih 11 tanding. Kemudian letakkan satu unit bayuan,
kelawu. Caru
ini untuk Kala Breggenjeng. Pada
masing-masing unit Caru itu, ditancapkan sebuah Sanggah
Cucuk, beralaskan daun
tlujungan, lalu dihaturkan dananan satu, yang
dilengkapi dengan tatabuan twak arak pada
sujang. Juga pada masing-masing unit ini
dilengkapi dengan kulkul,
sapu, tulud. Tidak jauh dari Caru itu juga dibuatkan
"tatimpug" atau. "keplug-keplugan" yang dibuat dari batang-batang bambu yang dibakar. Masing-masing bayuan dilengkapi pras, penyeneng, blayag pesor, kelanan, daksina punggul. Masing-masing olahan, terdiri urab bang, urab putih dengan sate "lembat asem". Pada masing-masing Sanggah cucuk juga ditancapkan sebatang penjor dari cabang bambu lengkap dengan sampaiannya (Wikarman,1998: 25-28).
2.4
Bentuk Caru Panca Sata
a.
Unsur pelengkap material serta prosesi pembuatannya
yaitu sebagai berikut:
1.
Alas dasar tandingan
Alas dasar tandingan upakara ini adalah berupa nyiru atau disebut kumarang dengan
ukuran besar yang sekiranya dapat menampung keseluruhan tandingan gegelaran caru manca sata menjadi satu kesatuan
tandingan secara utuh.
2.
Bahan janur muda, janur tua, daun enau, daun pisang dan
bitting
Bahan-bahan berupa
janur muda ini dibentuk menjadi jejahitan berupa plaus kecil atau disebut petangas
yang banyaknya lima (5) buah dengan
ukuran disesuaikan dengan kebutuhan. Begitu pula besar kecilnya cemper yang
bentuknya persegi empat disesuaikan dan sarana untuk cemper ini disebut banten
cemperan.
Satu pelepah janur tua
lengkap dengan tangkainya dibentuk atau dirangkai menjadi suatu ulatan-ulatan
yang menyerupai kepala, tangan-tangan, badan dengan dadanya dan dibentuk dua
(2) kaki sejajar. Ukurannya disesuaikan dengan ukuran tempat alas tandingan.
Selain itu bentuk yang berbeda juga bisa di pakai dengan membuat ulatan-ulatan
dari pelepah janur tua yang bentuknya menyerupai kepala sepasang sayap
bentuknya melebar yaitu pada sebaelah kiri dan kanannya, sepasang kaki dan ada
ekornya. Ulatan tersebut mirip sekali dengan bayang-bayang ayam. Ulatan yang berbentuk
khusus ini disebut dengan nama sengkwi.
Sengkwi pada penggunaan pada caru manca
sata ini hanya diperlukan satu (1)
buah saja.
Daun
enau dibentuk beberapa macam jejahitan yaitu; aledan kecil persegi empat sebanyak lima (5) buah, aledan persegi empat dengan ukuran besar
satu (1) buah.
Daun pisang dibentuk limas
pada bagian ujungnya sehingga berbentuk cekung dan banyaknya lima (5) buah.
Bitting adalah terbuat dari bilahan-bilahan
bambu kering yang telah diprosesi dengan bentuk kecil-kecil memanjang dan
digunakan untuk menjahit dari berbagai jenis dedaunan yang digunakan dalam
pembuatan pelengkap caru manca.
3.
Unsur jajan dan
buah-buahan
Unsur jajan yang
digunakan adalah gina, dodol, tempani,kali adrem, kerontongan dan jajan jenis
yang lainnya. Untuk jenis buah-buahan yang digunakan adalah pisang, mentimun,
sawo, jambu air dan buah jenis lainnya.
4.
Unsur bunga, buah pinang, kapur sirih dan sirih, daun
kayu
Bunga yang digunakan
adalah bunga kertas, pacar, jepun dan bunga jenis yang lainnya disesuaikan
penggunaannya dengan kondisi setempat. Buah pinang, kapur sirih dan sirih unsur
ketiganya ini dibuat porosan banyaknya lima (5) buah. Sedangkan daun kayu yang
digunakan jenis puring banyaknya disesuaikan dengan jumlah tandingan plaus cemperan.
5.
Unsur nasi dan pewarna makanan yang alami
Unsur nasi yang
digunakan pada banten caru manca adalah lima (5) jenis warna nasi yang telah
dicampur dengan pewarna makanan kecuali satu (1) warna nasi tetap putih alami.
Ke empat nasi yang lainnya diwarnai sesuai dengan warna yang telah ditentukan.
Adapun nasi tersebut yaitu: nasi warna merah, nasi warna kuning, nasi warna
hitam dan nasi panca warna (lima jenis campuran warna nasi).
6.
Serondeng
Serondeng ini terdiri
dari: saur yang bahannya dari kelapa
parut kemudian diisi dengan campuran bumbu secukupnya dan dioseng hingga
matang, begitu juga sambel, kacang,
komak, gerang, bajo, calon ( sate kelapa muda), dan garam. Bahan-bahan
tersebut di atas telah diproses dan siap untuk disajikan atau digunakan sebagai
pelengkap pada banten caru manca
terutama pada bagian yang disebut dengan banten
cemperan.
7.
Ayam lima ekor dengan bulu lima jenis warna
Ayam yang diperlukan
lima ekor dengan jenis warna bulu yang berbeda, yaitu:
Ø
warna bulu putih mulus yaitu dari kepala sampai kaki
Ø
warna bulu merah atau biying
Ø
warna kuning atau putih siungan yaitu dari kepala sampai badan warnanya putih dan
kakinya dengan warna kuning polos.
Ø
Warna bulu hitam mulus
Ø
Warna brumbun yaitu warna bulu manca warna atau
lima (5) jenis warna.
Kelima ayam tersebut
di atas dibuat bayang-bayang atau
dikuliti secara utuh yaitu dari unsur kepala, sayap, kulit badannya ekor dan
kakinya. Kemudian isi atau daginnya ayamnya diolah menjadi sate yang dibutuhkan
pada masing-masing caru manca.
Disamping itu daging ayamnya sebagaian lagi diolah untuk hebatan. Sedangkan darah dari masing-masing ayam tetap dipergunakan
pada tandingan pelengkap bayang-bayang
ayam tersebut.
8.
Minuman : tuak, berem, air biasa
Minuman berupa tuak,
berem dan air putih biasa. Masing-masing jenis minuman tersebut untuk tempatnya
dipakai botol atau tempat lainnya yang sesuai.
Minuman segar ini untuk pelengkap banten caru manca sata.
9.
Bumbu-bumbu, isi daging ayam dan bahan-bahan olahan sayur.
Bumbu yang dimaksud di
sini adalah sebagai bahan atau campuran untuk olahan yang di buat. Bumbu tersebut: cabe, garam, terasi, bawang
merah, bawang putih, merica, kunir, jahe, kencur lengkuas dan bumbu jenis
pelengkap lainnya. Semua jenis bumbu tersebut diproses atau digiling hingga
lembut dan digoreng lalu siap saji dicampur dengan bahan-bahan yang disebut
dengan hebatan.
Bahan-bahan olahan atau disebut hebatan terdiri dari bahan sayur dan isi daging ayam yang digunakan
tersebut. Untuk bahan dari sayur dipakai yaitu; daun belimbing muda yang di rebus
hingga matang kemudian dipotong kecil-kecil, kelapa parut yang sebelumnya telah
dipanggang, kelapa dipotong kecil-kecil dengan bentuk memanjang dan olahan isi daging masing-masing ayam
yang sudah matang kemudian dicincang. Semua bahan-bahan yang dijadikan olahan tersebut seperti daun belimbing
dan jenis lainnya dicampuri dengan bumbu yang siap saji. Jadi olahan atau hebatan yang dibuat sebanyak
empat (4) jenis dalam satu (1) tandingan. Untuk tandingan hebatan caru manca sata dibuat lima (5) tandingan.
10.
Serabut kelapa kering
Serabut kelapa kering
diperlukan pada sarana pelengkap pada caru
manca. Serabut ini dibentuk menyerupai tampak
dara atau disebut tanda tambah. Maksudnya dipergunakan sarana ini untuk
dinyalakan pada saat mulainya acara upakara
pecaruan.
b.
Tatanan
tetandingan upakara caru manca sata yaitu:
Seluruh sarana
pelengkap sebagai bahan banten untuk caru manca sata ini, maka sarana
tersebut siap untuk ditata sesuai dengan aturan tandingan. Adapun urutan
tandingannya di mulai dari dasar yaitu:
1.
Tahap pertama
Persiapan keseluruhan bahan-bahan untuk tandingan banten caru manca sata,
yaitu: alas tandingan berupa kumarang besar,
aledan besar berbentuk persegi empat
dan sengkwi.
Selain itu dipersiapkan lima (5) tandingan olahan atau hebatan serta
kelengkapannya yang telah ditata, antara lain:
Ø
Tandingan olahan
caru putih diatasnya diisi dengan jumlah sate 5 biji kemudian diatas olahan tersebut ditaruhkan limas daun pisang berbentuk cekung dan
pada limas tersebut diisi darah ayam
putih kemudian diatasnya ditaruhkan bayang-bayang
ayam putih dengan posisi telungkup.
Ø
Tandingan olahan
caru merah diatasnya diisi dengan jumlah sate 8 biji kemudian diatas olahan tersebut ditaruhkan limas daun pisang berbentuk cekung dan
pada limas tersebut diisi darah ayam
merah kemudian diatasnya ditaruhkan bayang-bayang
ayam merah dengan posisi telungkup.
Ø
Tandingan olahan
caru kuning diatasnya diisi dengan
jumlah sate 7 biji kemudian diatas olahan
tersebut ditaruhkan limas daun pisang berbentuk cekung dan pada limas tersebut diisi darah ayam kuning
kemudian diatasnya ditaruhkan bayang-bayang
ayam kuning dengan posisi telungkup.
Ø
Tandingan olahan
caru hitam diatasnya diisi dengan jumlah sate 4 biji kemudian diatas olahan tersebut ditaruhkan limas daun
pisang berbentuk cekung dan pada limas
tersebut diisi darah ayam hitam kemudian diatasnya ditaruhkan bayang-bayang ayam hitam dengan posisi
telungkup.
Ø
Tandingan olahan
caru brumbun diatasnya diisi dengan jumlah sate 9 biji kemudian diatas olahan tersebut ditaruhkan limas daun
pisang berbentuk cekung dan pada limas
tersebut diisi darah ayam brumbun kemudian diatasnya ditaruhkan bayang-bayang ayam brumbun dengan posisi
telungkup.
Kemudian tandingan banten cemperan sebanyak lima (5)
tanding tentang penataannya dapat disampaikann, yaitu:
Banten cemperan kecil ini memakai jejahitan cemper yang berbentuk persegi
empat. Penataan pada banten cemperan yaitu pada bagian hulu atau depan
ditanding atau ditaruhkan buah-buahan dan jajan selengkapnya kemudian pada
bagian teben diisi dengan nasi dan juga serondeng lengkap disampingnya. Warna
nasi pada masing-masing cemperan berbeda yaitu: nasi putih, merah, kuning,
hitam dan brumbun atau warna nasi
lima warna.
Dilanjutkan pada
masing-masing cemperan tersebut diatasnya diisi dengan plaus cemperan yang sudah diisi dengan daun kayu, prosan, samsam dan bunga.
2.
Tahap ke dua
Seluruh sarana pelengkap dalam pembuatan banten caru manca ini telah siap untuk
di atur tata letaknya sehingga menjadi satu kesatuan bentuk banten caru pada
satu (1) tempat. Adapun tata letaknya di atur mulai dari dasar yaitu sebagai
berikut:
Persiapan kumarang besar lalu diatasnya dipasang aledan besar persegi empat
kemudian diatasnya lagi dipasang sengkwi dengan
posisi tengadah. Aturan selanjutnya dipasang olahan selengkapnya termasuk bayang-bayang
ayamnya pada pengider buana, yaitu :
arah Timur dipasang olahan putih,
Selatan olahan merah, Barat olahan kuning, Utara olahan hitam dan di Tengah olahan brumbun. Dilanjutkan dipasang banten
cemperan disesuaikan arah pengider
pula, yaitu: cemperan dengan warna
nasi putih di Timur, cemperan dengan
warna nasi merah di Selatan, cemperan
dengan warna nasi kuning di Barat, cemperan
dengan warna nasi hitam di Utara dan cemperan
dengan warna nasi lima warna di Tengah (putih, merah, kuning, hitam dan putih).
3.
Tahap ke tiga
Caru manca sata adalah merupakan satu kesatuan utuh yang terdiri
dari beberapa jenis tandingan yang
siap untuk disajikan sebagai penyerta pada pelaksanaan upacara piodalan. Upakara ini
dilengkapi dengan minuman segar seperti tuak, berem dan air biasa. Selain itu
dilengkapi pula dengan dua potong serabut kering yang dipasang menyerupai tampak dara.
2.5 Makna
Caru Panca Sata
Pelaksanaan upacara yajña yang terjadi di masyarakat hindu bali jenis upacara bhuta yajña tidak lepas dari penggunaan upakara sebagai pelengkap dalam
menunjang suksesnya pelaksanaan upacara
yang dilaksanakan.
Dalam pelaksanaannya upacara bhuta yajña disesuaikan dengan
tingkatannya masing-masing yaitu : tingkat nista
(dasar), madhya (sedang) dan utama (besar). Begitu pula disesuaikan
pula dengan kemampuan dan didasari dengan rasa tulus iklas.
Terkait pada pelaksanaan upacara bhuta yajña yang dilaksanakan
adalah tergolong pada tingkat madya
atau tingkat sedang dan tingkatan upacaranya disebut dengan caru. Yang dimaksud caru disini adalah selain mempergunakan sarana material yang berupa
lauk pauk juga mempergunakan binatang sebagai korbannya disamping penggunaan
sarana pelengkap lainnya sebagai penunjang.
Caru tingkat madhya
adalah dengan mempergunakan lima (5) ekor ayam dengan warna bulu yang
berbeda-beda. Warna tersebut, yaitu: putih, merah, kuning, hitam dan brumbun (lima jenis warna bulu).
Penggunaan lima jenis ayam tersebut disebut dengan caru manca sata dan caru
ini disesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin. Caru manca sata yang terdiri dari beberapa jenis tandingan sehingga terbentuk menjadi
satu kesatuan banten dan struktur
tata letak tandingan tersebut
disesuaikan dengan arah pengider buana
atau lima arah, yaitu sebagai berikut:
Ø Banten
caru ayam putih letaknya di arah Timur
Ø
Banten caru ayam merah letaknya di arah Selatan
Ø
Banten caru ayam kuning letaknya di arah Barat
Ø
Banten caru ayam hitam letaknya di arah Utara
Ø
Banten caru ayam brumbun letaknya di Tengah
Caru
manca sata ditujukan pada bhuta kala
di pengider buana atau lima arah mata
angin. Adapun sebutan nama kala tersebut yaitu:
Ø Timur
: Sang Kala Jangitan
Ø Selatan : Sang Kala Langkir
Ø Barat : Sang Kala Lembu Kere
Ø Utara : Sang Kala Bhuta Truna
Ø Tengah : Sang Kala Tiga Sakti
Struktur tata letak banten caru manca sata adalah pada pengider
buana, maka jelas bahwa banten caru
manca sebagai bentuk korban suci yang ditujukan kepada bhuta kala di pengider buana
yaitu di lima arah mata angin. Bentuk korban suci tersebut dapat dimaknai
bahwa: untuk menjaga keseimbangan alam semesta atau makrokosmos atau disebut Buana agung menjadi seimbang. Alam
semesta yang seimbang menjadi harmonis yaitu terbebas dari adanya energi buruk
atau kekuatan negatf yang sifatnya melemahkan atau menghancurkan. Untuk menjaga
keseimbangan alam semesta adalah hal penting yang patut dijaga kelestariannya.
Bila alam semesta dalam keadaan tidak seimbang, maka akan terjadi suatu
kehancuran. Begitu pula keseimbangan pada alam mikro yang disebut dengan buana alit yaitu pada diri manusia itu
sendiri. Keadaan diri yang seimbang maka terjadi suatu kestabilan dalam
menjalani kehidupan di dunia ini.
Keseimbangan keterkaitannya dalam
proses pelaksanaan upacara bhuta yajna
berlangsung adalah sebagai upaya menjaga keharmonisan. Hal ini sangat
mengantisifasi terkait dengan munculnya dua (2) kekuatan atau energi besar baik
pada alam semesta dan pada diri manusia itu sendiri yaitu unsur kekuatan yang
bersifat negatif dan positif.
Upacara mecaru dapat dikatakan sebagai
langkah baik untuk menetralisir atau sebagai penetral dua kekuatan inti yaitu
unsur negatif dan unsur positif. Maka dua energi atau dua sumber kekuatan
tersebut menjadi seimbang. Pelaksanaan upacara
mecaru menjadi lancar atau tanpa gangguan sehingga hasil murni yang
diperoleh adalah kedamaian di hati. Keduanya baik Buana agung dan buana alit
tersebut berpotensi munculnya kekuatan unsur positf sehingga diharapkan terjadi
keseimbangan atau kestabilan dan keharmonisan.
Menyimak arti unsur kata bhuta kala bahwa: Butha artinya unsur yang diadakan, kala artinya waktu atau energi. Bhuta
kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya. Tuhan menciptakan unsur
alam semesta untuk lebih lengkapnya di dalam pustaka suci Manawa Dharma Çastra
I, 6 dinyatakan, bahwa: kemudian dengan kekuatan tapa Nya, ia, Yang Maha Ada,
menciptakan ini, Maha Bhuta (unsur alam semesta) dan lainya nyata terlihat
melenyapkan kegelapan.
Upacara bhuta yajna ini merupakan suatu jalinan yang baik harmonis dengan bhuta kala dan sekaligus pemanfaatannya
sangat berguna bagi kita untuk kestabilan baik makro dan juga mikro. Pelaksanaan upacara adalah tidak terlepas dari
berkat Beliau dan mohon dari anugrah Tuhan sebagai pencipta segala makhluk
untuk sekiranya memperoleh kerahyuan. Upakara
caru manca yang dilaksanakan secara empiris adalah merupakan korban suci
kepada sarwa bhuta kala di lima
penjuru mata angin atau disebut pengider
buana namun yang sesungguhnya adalah segala bentuk anugrah adalah dari
Tuhan itu sendiri.
Berdasarkan dengan penuh kepercayaan mempeoleh
anugrah dari Tuhan pernyataan ini lebih lengkapnya terdapat dalam pustaka suci
Bhagavad Gita VII, 22 bahwa: berpegang teguh pada kepercayaan itu, mereka
berkati pada keyakinan itu pula dan daripadanya memperoleh harapan mereka yang
sebenarnya hanya dikabulkan oleh-Ku. Hal ini jelas bahwa pernyataan dalam
pustaka tersebut bahwa Tuhan memberikan harapan baik bagi yang percaya dan
patuh pada-Nya.
Begitu pula bahwa dalam pelaksanaan
upacara bhuta yajna dengan
menggunakan sarana material yang berupa tumbuh-tumbuhan dan juga binatang yang
dikorbankan adalah merupakan suatu pembebasan dan peningkatan terhadap jiwanya.
Pernyaan ini dapat dilihat dalam pustaka suci Manawa Dharma çastra V. 40,
yaitu: tumbuh-tumbuhan semak, pohon-pohonan, ternak burung-burung lain yang
telah dipakai untuk upacara, akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada
kelahiran yang akan datang. Dalam hal ini bahwa binatang yang dikorbankan
seperti ayam pada upacara mecaru manca
sata adalah jiwanya memperoleh tingkatan yang lebih tinggi di kelahiran
mendatang dan jelas bahwa korban binatang tersebut penuh bermakna pernyataan
ini tegasnya terdapat dalam Manawa Dharma çastra V. 39 yaitu: Swayambu telah menciptakan hewan-hewan untuk
tujuan upacara-upacara kurban, upacara-upacara kurban telah diatur sedemikian
penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah
saja.
Terkait dengan penggunaan jumlah sate caru pada pengider buana adalah berjumlah 33. Jumlah tersebut tersesuai
dengan jumlah urip pada pengider buana
atau lima arah mata angin, dalam hal ini dapat dipaparkan sebagai berikut:
Ø Sate
caru ayam putih letaknya di arah Timur :
urip 5
Ø Sate
caru ayam merah letaknya di arah Selatan :
urip 9
Ø Sate
caru ayam kuning letaknya di arah Barat :
urip 7
Ø Sate
caru ayam hitam letaknya di arah Utara :
urip 4
Ø Sate
caru ayam brumbun letaknya di Tengah :
urip 8
Caru
manca sata yang dilaksanakan adalah suatu bentuk korban suci yang digunakan
sebagai penyerta dalam pelaksanaan upacara
piodalan. Tentang bentuk caru manca
sata yang secara keseluruhannya
merupakan bentuk kesederhanaan dalam penggunaan sumber bahan dan sarana
pelengkapnya. Banten penyerta atau
sebagai banten pelengkap banten caru manca sata tersebut seperti
penggunaan banten semayut atau
disebut dengan banten ayaban yaitu: semayut tumpeng pepitu, tumpeng solas, nasi
wong, peras, kelanan, pesor, bayuhan dan
banten lainnya tidak digunakan. Begitu pula penggunaan sanggah crukcuk, sapu, tulud,
bobok dan kulkul. Dalam penyelenggaraan bhuta
yajña dengan caru manca sata
adalah banten intinya saja yaitu
berupa satu kesatuan tatanan tandingan menjadi
satu kumarang besar yang terdiri dari
sengkwi, olahan lengkap dengan sate,
banten cemperan. Pada struktur tandingan
disajikan di lima (5) arah mata angin dan banten
cemperan lengkap dengan isinya itu ada lima (5) jenis tandingan menurut jenis warna dan urip pada pengider buana.
Jelas caru manca sata dalam
penggunaannya terstruktur tata letak tandingan
banten di masing-masing arah tersebut telah tersesuai dengan ketentuan pada
pengider buana.
Sebagai bentuk pembayaran hutang kepada
Tuhan melalui upacara dewa yajña dan upacara bhuta yajña. Seiring
pelaksanaannya bahwa upacara bhuta yajña sebagai
penyerta dalam upacara dewa yajña dalam
hal ini piodalan. Kewajiban untuk melaksanakan upacara bhuta yajña terdapat dalam berbagai sumber antara lain: Manawa
Dharmaçastra. III. Sloka 70, 74 dan Lontar Korawa Srama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bentuk
upakara caru manca sata terdiri
dari beberapa kriteria yaitu: a). persiapan sarana material, b). Proses
pembuatan dan c). Menata. Jenis tandingan ini menjadi satu kesatuan bentuk caru manca sata. Penataan caru pada lima arah mata angin yang
beralaskan kumarang besar. Di atas kumarang tersebut berturut-turut
dipasang atau disusun aledan besar
persegi empat, sengkwi dengan posisi
tengadah, lima (5) tandingan olahan caru masing-masing ayam berbeda warna
beserta bayang-bayangnya ditata pada
lima arah mata angin yaitu; di Timur olahan
ayam warna putih, Selatan olahan warna
ayam merah, Barat olahan ayam warna
kuning, Utara olahan ayam warna hitam
dan di Tengah olahan ayam warna brumbun dan diatasnya disusun lima banten cemperan yang masing-msing berisi
warna berbeda (putih, merah, kuning, hitam dan brumbun) dipasang di lima arah mata angin (pengider buana).
DAFTAR PUSTAKA
Mas,
Mt. Putra I.G.A,1993. Panca Yadnya. Yayasan Dharma Sarati.
Pudja,G dan Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Manawa Dharmacastra. Jakarta:
CV. Felita Nursatama Lestari.
Wikarman, Singgin I Nyoman, 1998. Palemahan dan
Sasaih. Surabaya : Paramita.
---------------------------------,1999. Mlaspas Dan Ngenteg Linggih. Surabaya: Paramita.