Sunday, June 24, 2012

MAKNA SIMBOLIK UNSUR DAKSINA


Terimakasih sudah mengunjungi blog ini.
Jangan lupa follow ig. @edychandra00
Satyam eva jayate...!!

MAKNA SIMBOLIK
UNSUR – UNSUR DAKSINA


OLEH


                                     Nama                    : EDY CHANDRA
                                     Nim                       : 101 111 20
                                     Kelas                     : 1V B ( Sore )
                                     Jurusan               : Pendidikan




KEMENTRIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI
GDE PUDJA MATARAM
2012


KATA PENGANTAR

Om Swastyastu
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas asung kertha wara nugrahanyalah sehingga penyusun makalah ini yang berjusul “Makna Simbolik Unsur-unsur Daksina” ini dapat terselesaikan dengan baik pada batas waktu yang sudah ditentukan.
Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak menghadapi kendala, baik dari segi penyusunan  kata-kata maupun dari segi penyajiannya, penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman yang sifatnya kontraktif, khususnya bagi Ibu Dosen pembimbing mata kuliah Filsafat Simbol ini, sekiranya dapat memberikan masukan demi pencapaian kesempurnaan makalah ini.
Tidak lupa penulis menyampaikan, ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada dosen pembimbing serta pihak-pihak yang dapat membantu penulis dalam penyusunan makalah ini, akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Om Santih, Santih, Santih Om


Mataram, Juni 2012

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................            i
KATA PENGANTAR..............................................................            ii
DAFTAR ISI.............................................................................            iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.............................................................            1
1.2  Rumusan Masalah........................................................            4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian DAKSINA.................................................            5
2.2 Penggunaan DAKSINA dalam upacara yajna.............            7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................            15
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Pandangan Veda, agama Hindu meyakini bahwa Tuhan itu bersifat Monotheisme Transendent, Monotheisme Imanent, dan Monisme. Monotheisme Transendent, yaitu tuhan yang digambarkan dalam wujud yang Impersonal God (Tuhan yang tidak berpribadi). Tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menjangkauNya (Acintya) Monotheisme Imanent, yaitu penggambaran Tuhan sebagai Personal God (Tuhan yang berpribadi), dalam hal ini Tuhan telah memiliki sifat, seperti; maha pengasih, maha penyayang, maha tahu dan sebagainya, dan salah satu wujud dari Tuhan itu digambarkan melalui simbol-simbol, seperti Daksina Linggih sebagai salah satunya. Dalam Bhagavadgita, ada dijelaskan “bahwa pemujaan Tuhan dengan menggunakan media jauh lebih mudah dan efektif dibandingkan dengan memujaNya tanpa media”. Karena dapat dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, sebagai bentuk puja bhaktinya.
Pokok-pokok ajaran agama Hindu didasarkan atas berbagai tradisi. Di dalam bahasa kawi atau bahasa sanskerta pelaksanaan ini disebut drsta atau acara. Kebiasaan atau tradisi ialah tingkah laku manusia baik perorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu kaidah-kaidah hukum yang ajeg. Biasanya kaidah-daidah ini diikuti berdasarkan apa yang telah berlaku atau dilakukan oleh orang-orang tua yang dianggap sebagai sesepuh atau tingkah laku para Maharsi, atau orang-orang terkemuka yang merupakan tokoh-tokoh agama Hindu yang dianut mereka. Berdasarkan bentuknya sumber drsta atau acara ada yang bersumber pada kitab-kitab suci dan kitab-kitab agama Hindu lainnya yang dianggap suci.
Tingkah laku yang berdasarkan kaidah-kaidah tertulis di dalam kitab suci disebut menurut Sastra Drsta. Sebaliknya kaidah-kaidah yang diikuti berdasarkan kebiasaan yang tidak bersumber pada kitab suci melainkan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan tempat setempat disebut loka drsta atau desa drsta. Loka Drsta ini lebih lazim disebut desa-acara (desacara). Desa ini dibeda-bedakan antara kula drsta (kula acara) dan warna acara. Kula acara ialah kebiasaan-kebiasaan yang diikuti oleh sekelompok keluarga dan merupakan tradisi keluarga. Dengan demikian di dalam satu daerah terdapat beberapa tradisi yang mungkin berbeda antara yang satu dari yang lainnya. Varna Acara yaitu tradisi yang diikuti oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kelompok masyarakat ini secara tradisional disebut kelompok kasta atau di dalam ilmu sosial kelompok ini disebut kelas masyarakat (soscial group) menurut kekaryaannya. Menurut agama Hindu, kedua jenis drsta ini diakui adanya dan merupakan sistem sosial yang mengakibatkan individu dengan kelompoknya sebagai satu masyarakat yang disebut Dharma Santana, yaitu masyarakat yang hidupnya diatur berdasarkan Dharma atau Sanatana Dharma. Sanatana Dharma adalah nama lain untuk agama Hindu. Sanatana Dharma inilah nama asli Hindu.
Adapun nama Hindu yang sekarang lazim dikenal di dunia ilmu dan telah dipergunakan sendiri karena nama itu diberikan oleh orang yang bukan Hindu. Nama itu diberikan kepada kelompok masyarakat yang memiliki agama dan tradisi Dharma itu. Karena mula-mula ajaran Dharma itu berasal dari lembah sungai Indrus (Sindhu), salah satu sungai yang besar yang terdapat di Pakistan. Ajaran Dharma itu dikenal dengan nama Indrus Culture atau kebudayaan lembah sungai Sindhu (Indus).
Di dalam pengucapan, perubahan lafal “S” ke “H” mempengaruhi ejaan Shindu menjadi Hindu yang kemudian ditulis Hindu hingga sekarang. Jadi istilah ini berasal dari penamaan orang luar.
Ajaran Dharma atau Sanatana Dharma yang sekarang kita kenal dengan Nama Hindu, berdasarkan pokok-pokok ajaran dan kaidah-kaidah beserta ibadahnya pada Drsta, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kaidah-kaidah yang tertulis itu merupakan kaidah pokok yang mengatur apa yang harus dilakukan atau dihindari, apa yang baik dilakukan dan yang tidak baik dijalankan, yang dianjurkan dan ada pula yang bersifat umum dengan janji akan memperoleh pahala kalau dilakukan atau tidak dilakukan. Ajaran ini sangat luas dan banyak. Semua kaidah itu diajarkan dengan maksud tertentu yang merupakan tujuan atau hakikat dari hidup beragama. Tujuan ini secara definitip ditegaskan di dalam ajaran dharma (agama Hindu). Karena kepercayaan (Sraddha) inilah maka masyarakat Hindu menganggap bahwa Daksina Linggih dalam suatu sarana upacara ritual keagamaan yang berlangsung di masing-masing tempat suci (Pura) sangat diyakini sebagai perwujudan Tuhan yang akan disembah. Maka konsep ketuhanannya sangat kental pada masyarakat Hindu, khususnya agama Hindu di Indonesia.
Karena sifat keimanan di dalam agama bersumber dari sabda apakah itu wahyu atau dikatakan oleh orang terpercaya, karena itu agama adalah mencakup aspek agama pramana. Keimanan ini sangat luas dan dikembangkan terus. Keimanan ini ciri khas dari suatu agama. Agama diwarnai oleh sistem keimanannya. Keimanan disebut Sraddha. Bangunan suatu agama diwarnai oleh sistem keimanannya. Salah satu yang menonjol di dalam agama Hindu adanya ketentuan yang menganjurkan untuk memperkembangkan pokok-pokok keimanan itu. Pengembangan ini mempunyai konskwensi berkembangnya dan meluasnya isi keimanan, disesuaikan menurut adat dan tradisi setempat. Sraddha sebagai kepercayaan dirumuskan sebagaimana terbaca di dalam Atharvaveda XII,1.1;
“satyam brhad rtam ugram diksa, tapa brahma yajna prthivim dharayanti;
“sesungguhnya satya brhad rtam ugram diksa, tapa brahma dan yajna yang menyangga dunia”
Dengan sloka itu maka dijelaskan bahwa dunia ini ditunjang oleh Satya Rta, Diksa, Tapa Brahma dan Yajna. Adapun dharma yang menyangga dunia terdiri dari Satya Rta, Diksa, Tapa Brahma dan Yajna itu sehingga dengan demikian keenam unsur itu merupakan dharma yang memelihara kehidupan ini. Dalam Yayurveda XIX, 30 dan 77 yang mengatakan: Sraddhaya Sathyam Apyate (dengan Sraddha orang akan mencapai Tuhan). Ssraddham Sathye Prajaptih (Tuhan menetapkan, dengan Sraddha menuju kepada (Sathya). Dalam uraian lainnya dapat pula kita jumpai ketentuan yang mengatakan:
“Vratena diksam apnoti, Diksayapnoti daksinam, Daksinam sraddham apnoti, Sraddhaya satyam ayate”
Dari uraian itu, jelas bahwa Sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu di dalam agama Hindu. Dengan berpedoman pada Sraddha itulah berbagai dasar pengertian keagamaan agama Hindu akan dapat dijelaskan. Karena itu Sraddha adalah kerangka dasar yang membentuk berbagai ajaran di dalam agama Hindu yang perlu diyakini dengan penuh pengertian.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan daksina ?
2. Apakah fungsi Upakara Daksina Linggih ?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Daksina
DAKSINA adalah salah satu jenis sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali di sebut wakul daksina. Dan didalam wakul ini di isi berbagai macam benda yang merupakan perlengkapan dari daksina tersebut. Jika kita melihat isi dari dasarnya, didalam wakul sebuah daksina selalu dialasi dengan janur yang dirangkai membentuk tanda tambah (+) yang disebut dengan Tapak Dara, yang secara berturut-turut diatasnya diisi beras dan kelapa, diatas kelapa diisi dengan kojong yang masing-masing diisi dengan telur, peselan, gantusan, pisang, base tampel tingkih dan pangi, diatas kelapa diisi dengan benang tatebus warna putih. Dan diatasnya ditambahkan dengan canang payasan yang sering juga disebut dengan pasucian/pangresikan. Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina secara utuh dalam penggunaannya biasanya dirangkaikan dengan jenis upakara yang lain seperti : peras, ajuman dan yang lainnya. Namun daksina juga bisa berdiri sendiri apabila daksina tersebut berfungsi sebagai daksina linggih. Namun biasanya daksina linggih ini ditambahka dengan cili yang bermakna sebagai simbol wajah.
Setiap bahan pelengkap dalam daksina ini mempunyai makna simbolik,diantaranya:
1. Tapak Dara (+) yang berbentuk seperti tanda tambah, merupakan dasar dari lamban agama Hindu yaitu Swastika. Dimana lambang tapak dara ini merupakan simbol dari hubungan yang harmonis secara vertical dan horisontal. Yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan pencipta/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Karena dengan terjalinnya hubungan yang harmonis tersebut maka kehidupan dapat berjalan dengan seimbang. 
2. Beras merupakan sumber pokok kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih-benih kehidupan.
3. Kelapa merupakan buah yang serba guna disimbulkan sebagai bumi dan juga sebagai kepala.
4. Telur yang digunakan dalam daksina diusahakan menggunakan telur itik, karena jika kita melihat dari sifat-sifat yang dimiliki oleh itik, maka itik dapat kita kelompokkan dalam jenis makhluk yang tergolong memiliki sifat satwam. Sedangkan ayam dapat dikelompokkan dalam jenis makhluk yang memiliki sifat rajas. Itik digolongkan memiliki sifat satwam karena, itik bisa memilah-milah makanan. Walaupun makanannya itu ada didalam lumpur. Sehingga itik selalu di identikkan dengan binatang yang memiliki sifat satwam berkat kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan ayam dikatakan memiliki sifat rajas, karena ayam ini bersifat aktif dan sering dijadikan ajang sabungan yaitu sabungan ayam. Bukan sabungan itik. Karena itulah telur itik yang digunakan dalam daksina. Telur itik disini mengantarkan jiwa yang suci, karena itik mampu memilih makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga udara.
5. Peselan. Peselan ini terdiri dari lima jenis dedaunan yang mewakili lima warna yaitu :
a. Daun mangga mewakili warna hijau-hitam
b. Daun durian mewakili warna putih,
c. Daun langsat mewakili warna kuning,
d. Daun manggis mewakili warna merah, 
e.Daun salak mewakili warna brumbun.
     Kelima macam warna daun ini dipergunakan sebagai simbul dari Panca Dewata yaitu warna hitam adalah warna dari Dewa Wisnu, putih adalah Iswara, kuning adalah Mahadewa, merah adalah Brahma dan brumbun (Panca warna) adalah Siwa. Namun demikian, masih banyak yang mempergunakan jenis daun yang lain untuk mewakili kelima daun tersebut seperti daun rambutan, endongan dan sebagainya tanpa mengurangi makna simbolik yang terkandung didalamnya. Karena selain berpatokan pada tattwa setiap upacara juga selalu berpatokan pada Desa (tempat), Kala (waktu), dan Patra (Kondisi).
6. Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2 bungkus). Yang masing-masing diisi dengan segala jenis ikan teri, bumbu (yang melambangkan isi darat dan laut) serta biji-bijian (5 macam) yang mempunyai warna (hitam, putih, merah, kuning dan campuran). Atau secara garis besar dilambangkan sebagai symbol pertiwi.
7. Pisang mentah, ditinjau dari segi warnanya adalah hijau/hitam. Dalam tandingan melambangkan jari. 
8. Tingkih dari segi warnanya adalah putih yang melambangkan kesucian. 
9. Pangi dari warnanya adalah merah, dalam tandingan pangi ini melambangkan dagu. 
10. Base/sirih tampel menyimbolkan orang yang sedang sembahyang. 
11. Penggunaan Benang dalam setiap pelaksanaan upcara keagamaan memiliki makna simbolik sebagai tali penghubung antara yang memuja dan yang dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan juga pada upakara-upakara tertentu benang melambangkan usus. 
12. Irisan tebu, simbol smara-ratih.
13. Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan
14. Bunga sebagai lambang cetusan perasaan

2.2 Penggunaan Daksina dalam Upacara Deva Yajna.
Dalam Pujawali atau Piodalan di Pura Agung Tirtha Buana selalu menggunakan sarana Daksina Linggih sebagai simbol untuk pemujaan Yang dimaksud dengan penggunaan daksina di sini adalah peran serta fungsi daksina itu sendiri dalam upacara Deva Yajna. Mengingat penggunaan daksina dalam upacara Deva yajna cukup banyak, baik jumlah maupun jenisnya dan hampir setiap upacara Deva yajna menggunakan daksina, maka penulis akan mencoba untuk memaparkan sesuai dengan keterbatasan kemampuan, kegunaan daksina dalam upacara Deva Yajna saja, yang sesuai dengan penelitian dan kajian yang telah ditetapkan, dengan harapan dan tujuan tidak akan terjadi kesalahan pemaknaan. Ada beberapa fungsi Daksina Linggihdalam upacara, yaitu:
a.    Daksina Lingggih/pralingga atau Tapakan yang berarti Sthana
Yang artinya tempat duduk. Hal ini dapat kita jumpai pada waktu kita melaksanakan upacara Deva yajna yaitu disebut upacara nedunang Bhatara. Upacara ini adalah merupakan upacara permohonan kehadapan Ida Bhatara (Deva sebagai manifestasi Hyang Widhi) agar beliau berkenan turun hadir di pura tersebut sedang melaksanakan pujawali/ piodalan, untuk memberikan waranugraha, menerima an menyaksikan pelaksanaan upacara yajna yang berupa persembahan oleh umatnya. Adanya istilah Ida Bhatara Tedun (turun) ke pura adalah karena keyakinan umat Hindu bahwa alam Devata yang suci itu berada di atas alamnya manusia yakni di alam Svah Loka (sorga). Upacara Ngenteg Linggih, ialah upacara mensthanakan Ida Bhatara pada Daksina pelimggih yang telah dipersiapkan sebelumnya dan sekaligus memohon perkenan beliau untuk berada atau duduk di Pelinggih (bangunan suci) masing-masing. Melalui upacara Nedunang dan Ngelinggihan ini nejadikan umat Hindu semakin mantap dapat merasakan kehadiran Hyang Widhi dalam rangka menyaksikan dan menerima yajna dari umatnya. Daksina Linggih tempatnya disebut bedogan yang terbuat dari janur. Kemudian bedogan tersebut dialasi wakul/ bakul dari bambu yang bentuknya menyerupai selinder, di samping wakul dari bambu masih diberi alas bokor, yaitu sebuah tempat yang menyerupai mangkok yang terbuat dari emas, perak atau bahan dari logam lainnya. Selanjutnya diberi serobong yang terbuat dari daun janur atau ental (daun lontar), adapun gegantusan isinya terdiri dari tampak, beras, benang tukelan, kelapa, , pesel-peselan, bija ratus, pisang, telur itik, uang kepeng, khusus untuk daksina linggih/pralingga selain uang kepeng yang ditempatkan di kojong, juga menggunakan uang kepeng yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk lingkaran, jumlahnya 225 buah untuk landasan bawah yang disebut lekeh. Delengkapi dengan canang payasan yang tempatnya berbentuk segi tiga (ituk-ituk) dilengkapi dengan porosan, merupakan unsur terpenting yang dibuat dari daun sirih, irisan pinang, dan kapur. Ketiga bahan ini digabung menjadi satu diikat denga janur, lalu di atas porosan ini diberi bunga segar dan harum. Bagian luarnya yaitubedongannya diberi wastra (kain putih kuning seperti layaknya kita memakai kain). Daksina Linggih ini dilengkapi dengan peperai/wajah/ muka, bisa terbuat dari janur yang menyerupai cili (berbentuk kipas) atau daun lontar yang dibuat sifatnya permanen dengan maksud bisa disimpan dan dapat dipergunakan pada waktu kesempatan lain. Model atau bentuknya bisa dibuat bermacam-macam sesuai sesuai dengan seni yang membuatnya. Untuk peperai (bentuk/ wajak/ muka) ini bisa juga dibuat dari bahan kawat, bentuk ini pada kelompok upakara dikenal dengan nama dendeng ai. Bentuk lain dari pererai ini bisa juga dibuat dari lempengan kayu cendana, lempengan logam seperti perak, emas, yang mengembil bentuk lebih riil, yaitu dibuat atau dilukis seperti muka manusia ada mata, alis, mulut dan sebagainya. Kemudian dihias dengan menambahkan bunga-bunga segar yang berwarna putih kuning atau bunga yang dibuat dari emas atau perak. Dengan tambahan kain atau wastra, pererai yang dihias membuat Daksina Linggih berbeda dari daksina alit/ kecil pada umumnya dalam penampilannya. Daksina Tapakan/Linggih pada umumnya dipergunakan pada waktu ada pujawali/ Piodalan di pura-pura. Biasanya daksina ini diletakkan di depan padmasana atau pada bangunan suci di pura yang sedang melangsungkan upacara piodalan.
b.      Daksina sebagai simbol Hyang Tunggal/ Hyang Guru:
Membuat sarana perlengkapan daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian daksina diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai penguasa alam semesta ini.
c.         Daksina sebagai sarana persembahan dalam upacara Yajna:
Daksina adalah sarana perlengkapan yang paling penting dari beberapa jenis upacara Yajna. Sebesar dan semegah apapun pelaksanaan upacara Deva Yajna, tanpa menggunakan sarana daksina, maka upacara itu belum dianggap sempurna karena menggunakan daksina dianggap sebagai media untuk mendekatkan diri dan mewujudkan kuasa Tuhan, agar tercipta hubungan manusia sebagai bakta yang akan menyembah Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang akan disembah.
d.      Daksina sebagai cetusan rasa terima kasih:
Daksina dipersembahkan oleh para baktanya, untuk menyampaikan rasa angayubagia kepada Hyang Widhi beserta manifestasiNya, karena apa yang dimohon bakta dalam melaksanakan dharmanya sehari-hari sebagai umat Hindu mendapatkan sesuai yang diinginkan. Fungsi lain dari daksina ini adalah sebagai sarana untuk media menyempaikan terima kasih kepada para sulinggih atau para pinandita yang ditugaskan untuk melaksanakan/ memuput upacara, juga sebagai bukti rasa bhakti para umatnya disatu sisi merupakan bentuk pelayanan para pandita dan pinandita kepada umatnya.
e.       Daksina untuk memohon keselamatan
Sebagai manusia yang sangat menyadari bahwa jauh dari sempurna, sehingga manusia tidak akan luput dari kesalahan/ khilap serta segala kekurangan-kekurang an, kesalahan dan lupa karena keterbatasan pikiran maka perlu melaksanakan permohonan keselamatan. Khususnya bagi para tukang banten (Serati Banten) kehadiran banten daksina sebagai Sthana Hyang Widhi mutlak sangat diperlukan. Hyang Widhi sebagai manifestasiNya Sang Hyang Devi Tapeni/ Bhatari Tapeni (Devanya Serati Banten) untuk memohon bimbigan keselamatan, dalam melaksanakan pembuatan banten untuk upacara Deva Yajna tidak sampai melakukan kesalahan akibat keterbatasan pikiran seperti, kelupaan. Kebingungan dan lain sebagainya. Para Serati Banten biasanya jika akan membuat sarana bebantenan untuk upacara/ upakara maka akan meletakkan daksina disertai perlengkapan banten yang lain diletakkan di mana sudah disiapkan tempat banten/ pelangkiran di mana para Serati Banten akan bekerja untuk membuat banten. Daksina tidak saja diperlukan oleh Serati Banten, tetapi juga bagi tukang-tukang lainnya seperti tukang unagi bangunan, tukang terang, tukang membuat gayah, tukang gamelan, tukang ukir dan lain-lain yang semua tujuannya untuk ngaturang piuning supaya dalam melaksanakan tugasnya mendapat bimbingan dan keselamatan oleh Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
f.       Daksina sebagai Upasaksi (Lambang Hyang Guru):
Pengertian upasaksi terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi, upa dapat diartikan sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi upasaksi dapat mengendung pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau mempermaklumkan, dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat untuk menghaturkan banten upasaksi biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya upacara yang dilaksanakan. Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung biasanya dibentuk bangunan temporer dari bambu petung atau batang pinang yang sudah dikupas terlebih dahulu.
Bentuknya dibikin sederhana ruang atas yang dibagi menjadi tiga ruangan, apabila memakai satu ruangan maka disebutSanggar Surya. Maka sesuai dengan namanya, maka Sanggar Tawang berarti sthana di angkasa, dan fungsinya adalah untuk mensthanakan Hyang Widhi sebagai aspeknya, sebagai Sang Hyang Catur Lokapala atau Hyang Tri Murti. Oleh umat Hindu sangat diyakini bahwa sthanaNya yang abadi berada di luhuring akasa (di atas angkasa).Setiap aktifitas ritual umat Hindu dari pelaksanaan upacara yang sederhana (nista) sampai ketingkatan upacara yang besar (utama) senantiasa dibuatkan Sanggar Surya atau Sanggar Tawang untuk memohon kehadiran Hyang Surya guna menyaksikan ketulusan hati umatnya yang sedang melaksanakan upacara/ Yajna.
Sebagai upasaksi, banten daksina dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila banten daksina tersebut diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang sebagai upasaksi, maka sudah jelaslah fungsinya. Biasanya banten daksina di Sanggar Surya ataudi Sanggar Tawang tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi atau menyertai banten-banten yang lainnya, seperti banten pejati, banten peras, banten Deva-Devi, catur, suci dan banten lainnya.
g.      Daksina sebagai banten pelengkap.
Mengingat daksina sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti banten pejati, banten pebangkit, banten pulegembal, dan masih banyak lagi banten yang lainnya yang tidak penulis sebutkan satu-persatu. Hal ini disebabkan karena upacara/ upakara atau banten yang digunakan dalam suatu upacara merupakan satu kumpulan ari beberapa jenis banten yang disebut soroh dan setiap soroh hampir selalu menggunakan daksina sebagai runtutannya. Adapun kedudukan daksina yang selalu menyertai banten-banten yang yang lain adalah karena memang unsur yang terdapat dalam daksina sangatlah lengkap, selain itu daksina merupakan kekuatan atau saktinya suatu Yajna. Dengan kata lain suatu upakara Yajna akan menjadi sempurna apabila ada daksinenya. Lebih jelas kita lihat pada upacara Deva Yajna, seperti melaspas, mecaru, Ngenteg Linggih, Upacara Pujawali, Panca Walikrama dan Eka Dasa Rudra. Adapun urut-urutan rangkaian upacara yang umum dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Upakara Ngatur Piuning memulai karya (Nuasin Karya), upakara Nuur (Mendak) Tirtha, upakara untuk Serati Banten (ngelinggihang Sang Hyang Tapini) yaitu Devanya Serati Banten, Upakara RsiBijana, Upakara Mapapada (pada Sanggar Pesaksi) yang ditujukan kehadapan Siwa Raditya dan Giripati, dan upakara di bale PaVedan. Adapun banten daksina yang digunakan disesuaikan dengan besar kecilnya upakara (nista, madya, utama). Namun umumnya pada upacara Deva Yajna dapat penulis sebutkan di atas masih kebanyakan menggunakan daksina gede atau daksina pemogpog di samping daksina pelinggih dan daksina alit.
h.      Daksina sebagai sarana penebusan :
Daksina juga berfungsi sebagai penebusan atas kekurangan alam upakara yang dilaksanakan, terletak pada sesari/ uang. Selain itu uang sesari yang mengandung juga makna simbol ketulusan hati/ sarining manah. Ada juga yang menyebut daksina pemogpog yang mengandung makna sebagai menutup bilamana dalam melaksanakan upakara yajna ada kekurangan, maknanya hampir sama yaitu untuk penebusan.
Penggunaan Daksina Linggih sebagai pralingga di dalam memuja Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa dilandasi oleh konsepsi Ketuhanan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kalau pada jaman Empu Kuturan di Bali pemujaan pada Hyang Widhi baru hanya sampai tingkat manifestasi beliau yang disebut Deva atau Bhatara. Maka sejak kedatangan Dangn Hyang Dwijendra ke Bali pemujaan kepada Hyang Widhi bukan saja melalui Deva/ Bhatara yang merupakan prabawa atau sinar suci dari Hyang Widhi dapat diwujudkan dalam imajinasi manusia sehingga diproyeksikan wujud konkrit dalam benda suci yang disebut arca/ pratima sebagai ekspresi imaginasi abstrak manusia tentang wujud beliau. Maka arca/ pratima itu berfungsi sebagai pralingga Deva/ Bhatara.
Daksina Pelinggih adalah sebagai Pralingga Hyang Widhi yang merupakan pengganti dari arca atau pratima. Daksina Pelinggihmempunyai makna religius karena merupakan simbolnya dari Hyang Widhi atau merupakan simbolis miniatur kosmis pralingga Hyang Widhi.. Hal ini dilandasi karena Tuhan bersifat Acintya yang sangat sulit dibayangkan oleh manusia, karena itu Daksina Pelinggih sebagai miniatur kosmis pralingga Tuhan.

  
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            DAKSINA adalah salah satu jenis sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali di sebut wakul daksina. Daksina merupakan salah satu unsur terpenting yang harus ada dalam suatu kegiatan upacara, berhasil tidaknya suatu upacara / ritual tergantung dari daksina, maka dari itu daksina merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu kegiatan upacara.



 DAFTAR PUSTAKA

Raras, Niken Tamang, 2006. DAKSINA, Paramita Surabaya
Susila, I Nyoman, 2010. MANGGALA UPACARA, Denpasar. Widya Dharma.

No comments:

Post a Comment