Terimakasih sudah mengunjungi blog ini.
Jangan lupa follow ig. @edychandra00
Satyam eva jayate...!!
Jangan lupa follow ig. @edychandra00
Satyam eva jayate...!!
MAKNA
SIMBOLIK
UNSUR –
UNSUR DAKSINA
OLEH
Nama : EDY CHANDRA
Nim : 101 111 20
Kelas : 1V B ( Sore )
Jurusan : Pendidikan
KEMENTRIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI
GDE PUDJA MATARAM
2012
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji
syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa, atas asung kertha wara nugrahanyalah sehingga penyusun makalah ini yang
berjusul “Makna Simbolik Unsur-unsur
Daksina” ini dapat terselesaikan dengan baik
pada batas waktu yang sudah ditentukan.
Dalam
penyusunan makalah ini penulis banyak menghadapi kendala, baik dari segi
penyusunan kata-kata maupun dari segi
penyajiannya, penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran dari teman-teman yang sifatnya kontraktif, khususnya bagi Ibu Dosen
pembimbing mata kuliah Filsafat Simbol
ini, sekiranya dapat memberikan masukan demi pencapaian kesempurnaan makalah
ini.
Tidak
lupa penulis menyampaikan, ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya,
kepada dosen pembimbing serta pihak-pihak yang dapat membantu penulis dalam
penyusunan makalah ini, akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca.
Om Santih, Santih, Santih Om
Mataram, Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL................................................................. i
KATA
PENGANTAR.............................................................. ii
DAFTAR
ISI............................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................ 4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian DAKSINA................................................. 5
2.2 Penggunaan DAKSINA dalam upacara yajna............. 7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................. 15
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Pandangan Veda, agama Hindu meyakini
bahwa Tuhan itu bersifat Monotheisme Transendent, Monotheisme Imanent, dan
Monisme. Monotheisme Transendent, yaitu tuhan
yang digambarkan dalam wujud yang Impersonal God (Tuhan yang tidak berpribadi).
Tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menjangkauNya (Acintya) Monotheisme
Imanent, yaitu penggambaran Tuhan sebagai Personal God (Tuhan yang berpribadi),
dalam hal ini Tuhan telah memiliki sifat, seperti; maha pengasih, maha
penyayang, maha tahu dan sebagainya, dan salah satu wujud dari Tuhan itu
digambarkan melalui simbol-simbol, seperti Daksina Linggih sebagai salah satunya. Dalam
Bhagavadgita, ada dijelaskan “bahwa pemujaan Tuhan dengan menggunakan media
jauh lebih mudah dan efektif dibandingkan dengan memujaNya tanpa media”. Karena
dapat dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, sebagai bentuk puja
bhaktinya.
Pokok-pokok ajaran agama Hindu didasarkan atas
berbagai tradisi. Di dalam bahasa kawi atau bahasa sanskerta pelaksanaan ini
disebut drsta atau acara. Kebiasaan atau tradisi ialah tingkah laku manusia
baik perorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu
kaidah-kaidah hukum yang ajeg. Biasanya kaidah-daidah ini diikuti berdasarkan
apa yang telah berlaku atau dilakukan oleh orang-orang tua yang dianggap sebagai sesepuh atau
tingkah laku para Maharsi, atau orang-orang terkemuka yang merupakan
tokoh-tokoh agama Hindu yang dianut mereka. Berdasarkan bentuknya sumber drsta
atau acara ada yang bersumber pada kitab-kitab suci dan kitab-kitab agama Hindu
lainnya yang dianggap suci.
Tingkah laku yang berdasarkan kaidah-kaidah
tertulis di dalam kitab suci disebut menurut Sastra Drsta. Sebaliknya
kaidah-kaidah yang diikuti berdasarkan kebiasaan yang tidak bersumber pada
kitab suci melainkan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan tempat setempat disebut
loka drsta atau desa drsta. Loka Drsta ini lebih lazim disebut desa-acara
(desacara). Desa ini dibeda-bedakan antara kula
drsta (kula acara) dan warna acara. Kula acara ialah kebiasaan-kebiasaan yang
diikuti oleh sekelompok keluarga dan merupakan tradisi keluarga. Dengan
demikian di dalam satu daerah terdapat beberapa
tradisi yang mungkin berbeda
antara yang satu dari yang
lainnya. Varna Acara yaitu tradisi yang diikuti oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kelompok
masyarakat ini secara tradisional disebut kelompok kasta atau di dalam ilmu sosial kelompok ini disebut kelas
masyarakat (soscial group) menurut kekaryaannya. Menurut agama Hindu, kedua
jenis drsta ini diakui adanya dan merupakan sistem sosial yang mengakibatkan
individu dengan kelompoknya sebagai satu masyarakat yang disebut Dharma
Santana, yaitu masyarakat yang hidupnya diatur berdasarkan Dharma atau Sanatana
Dharma. Sanatana Dharma adalah nama lain untuk agama Hindu. Sanatana Dharma
inilah nama asli Hindu.
Adapun nama Hindu yang sekarang lazim dikenal
di dunia ilmu dan telah dipergunakan sendiri karena nama itu diberikan oleh
orang yang bukan Hindu. Nama itu diberikan kepada kelompok masyarakat yang
memiliki agama dan tradisi Dharma itu. Karena mula-mula ajaran Dharma itu
berasal dari lembah sungai Indrus (Sindhu), salah satu sungai yang besar yang
terdapat di Pakistan. Ajaran Dharma itu dikenal dengan nama Indrus Culture atau kebudayaan lembah sungai Sindhu
(Indus).
Di dalam pengucapan, perubahan lafal “S” ke “H” mempengaruhi ejaan
Shindu menjadi Hindu yang kemudian ditulis Hindu hingga sekarang. Jadi istilah
ini berasal dari penamaan orang luar.
Ajaran Dharma atau Sanatana Dharma yang sekarang kita kenal dengan Nama
Hindu, berdasarkan pokok-pokok ajaran dan kaidah-kaidah beserta ibadahnya pada Drsta, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis. Kaidah-kaidah yang tertulis itu merupakan kaidah pokok yang mengatur
apa yang harus dilakukan atau dihindari, apa yang baik dilakukan dan yang tidak
baik dijalankan, yang dianjurkan dan ada pula yang bersifat umum dengan janji
akan memperoleh pahala kalau dilakukan atau tidak dilakukan. Ajaran ini sangat luas dan banyak.
Semua kaidah itu diajarkan dengan maksud tertentu yang merupakan tujuan atau
hakikat dari hidup beragama. Tujuan
ini secara definitip ditegaskan di dalam ajaran dharma (agama Hindu). Karena
kepercayaan (Sraddha) inilah maka masyarakat Hindu menganggap bahwa Daksina Linggih dalam suatu sarana upacara ritual
keagamaan yang berlangsung di masing-masing tempat suci (Pura) sangat diyakini
sebagai perwujudan Tuhan yang akan disembah. Maka konsep ketuhanannya sangat
kental pada masyarakat Hindu, khususnya agama Hindu di Indonesia.
Karena sifat keimanan di dalam agama bersumber
dari sabda apakah itu wahyu atau dikatakan oleh
orang terpercaya, karena itu agama adalah mencakup aspek agama pramana. Keimanan ini sangat luas dan
dikembangkan terus. Keimanan ini ciri khas dari suatu agama. Agama diwarnai
oleh sistem keimanannya. Keimanan disebut Sraddha.
Bangunan suatu agama diwarnai oleh sistem keimanannya. Salah satu yang menonjol
di dalam agama Hindu adanya ketentuan yang menganjurkan untuk memperkembangkan
pokok-pokok keimanan itu. Pengembangan ini mempunyai konskwensi berkembangnya
dan meluasnya isi keimanan, disesuaikan menurut adat dan tradisi setempat. Sraddha sebagai kepercayaan dirumuskan
sebagaimana terbaca di dalam Atharvaveda XII,1.1;
“satyam brhad rtam ugram diksa, tapa brahma yajna prthivim dharayanti;
“sesungguhnya satya brhad rtam ugram diksa, tapa brahma dan yajna yang menyangga dunia”
Dengan sloka itu maka dijelaskan bahwa dunia
ini ditunjang oleh Satya Rta,
Diksa, Tapa Brahma dan Yajna. Adapun dharma yang menyangga dunia terdiri
dari Satya Rta, Diksa, Tapa Brahma dan Yajna itu sehingga dengan demikian
keenam unsur itu merupakan dharma yang memelihara kehidupan ini. Dalam
Yayurveda XIX, 30 dan 77 yang mengatakan: Sraddhaya
Sathyam Apyate (dengan
Sraddha orang akan mencapai Tuhan). Ssraddham
Sathye Prajaptih (Tuhan
menetapkan, dengan Sraddha menuju kepada (Sathya). Dalam uraian lainnya dapat
pula kita jumpai ketentuan yang mengatakan:
“Vratena diksam apnoti, Diksayapnoti daksinam, Daksinam sraddham
apnoti, Sraddhaya satyam ayate”
Dari uraian itu, jelas bahwa Sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi
tertentu di dalam agama Hindu. Dengan berpedoman pada Sraddha itulah berbagai dasar pengertian
keagamaan agama Hindu akan dapat dijelaskan. Karena itu Sraddha adalah kerangka dasar yang
membentuk berbagai ajaran di dalam agama Hindu yang perlu diyakini dengan penuh
pengertian.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan daksina ?
2. Apakah fungsi Upakara Daksina Linggih ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Daksina
DAKSINA
adalah salah satu jenis sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai
suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali di sebut wakul daksina. Dan
didalam wakul ini di isi berbagai macam benda yang merupakan perlengkapan dari
daksina tersebut. Jika kita melihat isi dari dasarnya, didalam wakul sebuah
daksina selalu dialasi dengan janur yang dirangkai membentuk tanda tambah (+)
yang disebut dengan Tapak Dara, yang secara berturut-turut diatasnya diisi
beras dan kelapa, diatas kelapa diisi dengan kojong yang masing-masing diisi
dengan telur, peselan, gantusan, pisang, base tampel tingkih dan pangi, diatas
kelapa diisi dengan benang tatebus warna putih. Dan diatasnya ditambahkan
dengan canang payasan yang sering juga disebut dengan pasucian/pangresikan.
Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina secara utuh dalam penggunaannya
biasanya dirangkaikan dengan jenis upakara yang lain seperti : peras, ajuman
dan yang lainnya. Namun daksina juga bisa berdiri sendiri apabila daksina
tersebut berfungsi sebagai daksina linggih. Namun biasanya daksina linggih ini
ditambahka dengan cili yang bermakna sebagai simbol wajah.
Setiap bahan pelengkap dalam daksina ini mempunyai makna simbolik,diantaranya:
Setiap bahan pelengkap dalam daksina ini mempunyai makna simbolik,diantaranya:
1. Tapak Dara (+) yang berbentuk seperti tanda tambah,
merupakan dasar dari lamban agama Hindu yaitu Swastika. Dimana lambang tapak
dara ini merupakan simbol dari hubungan yang harmonis secara vertical dan
horisontal. Yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan pencipta/ Ida
Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan hubungan yang harmonis antara
manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Karena dengan terjalinnya
hubungan yang harmonis tersebut maka kehidupan dapat berjalan dengan
seimbang.
2. Beras merupakan sumber pokok kehidupan, dan sebagai
simbol benih yaitu benih-benih kehidupan.
3. Kelapa merupakan buah yang serba guna disimbulkan
sebagai bumi dan juga sebagai kepala.
4. Telur yang digunakan dalam daksina diusahakan
menggunakan telur itik, karena jika kita melihat dari sifat-sifat yang dimiliki
oleh itik, maka itik dapat kita kelompokkan dalam jenis makhluk yang tergolong
memiliki sifat satwam. Sedangkan ayam dapat dikelompokkan dalam jenis makhluk
yang memiliki sifat rajas. Itik digolongkan memiliki sifat satwam karena, itik
bisa memilah-milah makanan. Walaupun makanannya itu ada didalam lumpur.
Sehingga itik selalu di identikkan dengan binatang yang memiliki sifat satwam
berkat kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan ayam dikatakan memiliki sifat
rajas, karena ayam ini bersifat aktif dan sering dijadikan ajang sabungan yaitu
sabungan ayam. Bukan sabungan itik. Karena itulah telur itik yang digunakan
dalam daksina. Telur itik disini mengantarkan jiwa yang suci, karena itik mampu
memilih makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun
dengan sesamanya dan dapat menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga
udara.
5. Peselan. Peselan ini terdiri dari lima jenis
dedaunan yang mewakili lima warna yaitu :
a. Daun mangga mewakili warna hijau-hitam
b. Daun durian mewakili warna putih,
c. Daun langsat mewakili warna kuning,
d. Daun manggis mewakili warna merah,
e.Daun salak mewakili warna brumbun.
Kelima
macam warna daun ini dipergunakan sebagai simbul dari Panca Dewata yaitu warna
hitam adalah warna dari Dewa Wisnu, putih adalah Iswara, kuning adalah
Mahadewa, merah adalah Brahma dan brumbun (Panca warna) adalah Siwa. Namun
demikian, masih banyak yang mempergunakan jenis daun yang lain untuk mewakili
kelima daun tersebut seperti daun rambutan, endongan dan sebagainya tanpa
mengurangi makna simbolik yang terkandung didalamnya. Karena selain berpatokan
pada tattwa setiap upacara juga selalu berpatokan pada Desa (tempat), Kala
(waktu), dan Patra (Kondisi).
6. Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2
bungkus). Yang masing-masing diisi dengan segala jenis ikan teri, bumbu (yang
melambangkan isi darat dan laut) serta biji-bijian (5 macam) yang mempunyai
warna (hitam, putih, merah, kuning dan campuran). Atau secara garis besar
dilambangkan sebagai symbol pertiwi.
7. Pisang mentah, ditinjau dari segi warnanya adalah
hijau/hitam. Dalam tandingan melambangkan jari.
8. Tingkih dari segi warnanya adalah putih yang
melambangkan kesucian.
9. Pangi dari warnanya adalah merah, dalam tandingan
pangi ini melambangkan dagu.
10. Base/sirih tampel menyimbolkan orang yang sedang
sembahyang.
11. Penggunaan Benang dalam setiap pelaksanaan upcara
keagamaan memiliki makna simbolik sebagai tali penghubung antara yang memuja
dan yang dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan juga pada
upakara-upakara tertentu benang melambangkan usus.
12. Irisan tebu, simbol smara-ratih.
13. Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari
pekerjaan
14. Bunga sebagai lambang cetusan perasaan
2.2 Penggunaan
Daksina dalam Upacara Deva Yajna.
Dalam Pujawali atau Piodalan di Pura Agung
Tirtha Buana selalu menggunakan sarana Daksina
Linggih sebagai simbol untuk
pemujaan Yang dimaksud dengan penggunaan daksina di sini adalah peran serta
fungsi daksina itu sendiri dalam upacara Deva Yajna. Mengingat penggunaan
daksina dalam upacara Deva yajna cukup banyak, baik jumlah maupun jenisnya dan
hampir setiap upacara Deva yajna menggunakan daksina, maka penulis akan mencoba
untuk memaparkan sesuai dengan keterbatasan kemampuan, kegunaan daksina dalam
upacara Deva Yajna saja, yang sesuai dengan penelitian dan kajian yang telah
ditetapkan, dengan harapan dan tujuan tidak akan terjadi kesalahan pemaknaan.
Ada beberapa fungsi Daksina Linggihdalam upacara,
yaitu:
a. Daksina Lingggih/pralingga atau Tapakan yang berarti Sthana
Yang artinya tempat duduk. Hal ini dapat kita jumpai pada waktu kita
melaksanakan upacara Deva yajna yaitu disebut upacara nedunang Bhatara. Upacara ini adalah merupakan upacara
permohonan kehadapan Ida Bhatara (Deva sebagai manifestasi Hyang Widhi) agar
beliau berkenan turun hadir di pura tersebut sedang melaksanakan pujawali/ piodalan,
untuk memberikan waranugraha, menerima an menyaksikan pelaksanaan upacara yajna
yang berupa persembahan oleh umatnya. Adanya istilah Ida Bhatara Tedun (turun)
ke pura adalah karena keyakinan umat Hindu bahwa alam Devata yang suci itu
berada di atas alamnya manusia yakni di alam Svah Loka (sorga). Upacara Ngenteg Linggih, ialah upacara
mensthanakan Ida Bhatara pada Daksina pelimggih yang telah dipersiapkan
sebelumnya dan sekaligus memohon perkenan beliau untuk berada atau duduk di
Pelinggih (bangunan suci) masing-masing. Melalui upacara Nedunang dan Ngelinggihan ini nejadikan umat Hindu semakin
mantap dapat merasakan kehadiran Hyang Widhi dalam rangka menyaksikan dan
menerima yajna dari umatnya. Daksina Linggih tempatnya disebut bedogan yang terbuat
dari janur. Kemudian bedogan tersebut dialasi wakul/ bakul dari bambu yang
bentuknya menyerupai selinder, di samping wakul dari bambu masih diberi alas bokor, yaitu
sebuah tempat yang menyerupai mangkok yang terbuat dari emas, perak atau bahan
dari logam lainnya. Selanjutnya diberi serobong yang terbuat dari daun janur atau
ental (daun lontar), adapun gegantusan isinya terdiri dari tampak, beras, benang tukelan, kelapa, , pesel-peselan, bija ratus,
pisang, telur itik, uang kepeng, khusus untuk daksina linggih/pralingga selain uang kepeng yang ditempatkan di kojong, juga
menggunakan uang kepeng yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk
lingkaran, jumlahnya 225 buah untuk landasan bawah yang disebut lekeh.
Delengkapi dengan canang payasan yang tempatnya berbentuk segi tiga (ituk-ituk)
dilengkapi dengan porosan, merupakan unsur terpenting yang dibuat dari daun
sirih, irisan pinang, dan kapur. Ketiga bahan ini digabung menjadi satu diikat
denga janur, lalu di atas porosan ini diberi bunga segar dan harum. Bagian
luarnya yaitubedongannya diberi
wastra (kain putih kuning seperti layaknya kita memakai kain). Daksina Linggih
ini dilengkapi dengan peperai/wajah/
muka, bisa terbuat dari janur yang menyerupai cili (berbentuk kipas) atau daun
lontar yang dibuat sifatnya permanen dengan maksud bisa disimpan dan dapat
dipergunakan pada waktu kesempatan lain. Model atau bentuknya bisa dibuat bermacam-macam sesuai
sesuai dengan seni yang
membuatnya. Untuk peperai (bentuk/ wajak/ muka) ini bisa juga dibuat dari bahan
kawat, bentuk ini pada kelompok upakara dikenal dengan nama dendeng ai. Bentuk lain dari pererai ini bisa juga
dibuat dari lempengan kayu cendana, lempengan logam seperti perak, emas, yang
mengembil bentuk lebih riil, yaitu dibuat atau dilukis seperti muka manusia ada
mata, alis, mulut dan sebagainya. Kemudian dihias dengan menambahkan bunga-bunga segar yang berwarna putih
kuning atau bunga yang dibuat dari emas atau perak. Dengan tambahan kain atau
wastra, pererai yang dihias membuat Daksina
Linggih berbeda dari daksina
alit/ kecil pada umumnya dalam penampilannya. Daksina Tapakan/Linggih pada umumnya
dipergunakan pada waktu ada pujawali/ Piodalan di pura-pura. Biasanya daksina
ini diletakkan di depan padmasana atau pada bangunan suci di pura yang sedang
melangsungkan upacara piodalan.
b. Daksina sebagai simbol
Hyang Tunggal/ Hyang Guru:
Membuat sarana perlengkapan daksina yang begitu lengkapnya sehingga
dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan
demikian daksina diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol
Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai
penguasa alam semesta ini.
c.
Daksina sebagai sarana
persembahan dalam upacara Yajna:
Daksina adalah sarana perlengkapan yang paling penting dari beberapa
jenis upacara Yajna. Sebesar dan semegah
apapun pelaksanaan upacara Deva Yajna, tanpa menggunakan sarana daksina, maka
upacara itu belum dianggap sempurna karena menggunakan daksina dianggap sebagai
media untuk mendekatkan diri dan mewujudkan kuasa Tuhan, agar tercipta hubungan
manusia sebagai bakta yang akan
menyembah Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang akan disembah.
d. Daksina sebagai cetusan rasa terima kasih:
Daksina dipersembahkan oleh para baktanya, untuk menyampaikan rasa
angayubagia kepada Hyang Widhi beserta manifestasiNya, karena apa yang dimohon
bakta dalam melaksanakan dharmanya sehari-hari sebagai umat Hindu mendapatkan
sesuai yang diinginkan. Fungsi lain dari daksina ini adalah sebagai sarana
untuk media menyempaikan terima kasih kepada para sulinggih atau para pinandita
yang ditugaskan untuk melaksanakan/ memuput upacara, juga sebagai bukti rasa
bhakti para umatnya disatu sisi merupakan bentuk pelayanan para pandita dan
pinandita kepada umatnya.
e. Daksina untuk memohon keselamatan
Sebagai manusia yang sangat menyadari bahwa jauh dari sempurna,
sehingga manusia tidak akan luput dari kesalahan/ khilap serta segala
kekurangan-kekurang an, kesalahan dan lupa karena keterbatasan pikiran maka
perlu melaksanakan permohonan keselamatan. Khususnya bagi para tukang banten
(Serati Banten) kehadiran banten
daksina sebagai Sthana Hyang Widhi mutlak sangat diperlukan. Hyang Widhi
sebagai manifestasiNya Sang Hyang Devi Tapeni/ Bhatari Tapeni (Devanya Serati
Banten) untuk memohon bimbigan keselamatan, dalam melaksanakan pembuatan banten
untuk upacara Deva Yajna tidak sampai melakukan kesalahan akibat keterbatasan
pikiran seperti, kelupaan. Kebingungan dan lain sebagainya. Para Serati Banten
biasanya jika akan membuat sarana bebantenan untuk upacara/ upakara maka akan
meletakkan daksina disertai perlengkapan banten yang lain diletakkan di mana
sudah disiapkan tempat banten/ pelangkiran di mana para Serati Banten akan
bekerja untuk membuat banten. Daksina tidak saja diperlukan oleh Serati Banten,
tetapi juga bagi tukang-tukang lainnya seperti tukang unagi bangunan, tukang
terang, tukang membuat gayah, tukang gamelan, tukang ukir dan lain-lain yang
semua tujuannya untuk ngaturang piuning supaya dalam melaksanakan tugasnya
mendapat bimbingan dan keselamatan oleh Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
f. Daksina sebagai Upasaksi (Lambang Hyang Guru):
Pengertian upasaksi
terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi,
upa dapat diartikan sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi
upasaksi dapat mengendung pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau
mempermaklumkan, dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat
untuk menghaturkan banten upasaksi biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya upacara yang
dilaksanakan. Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung biasanya dibentuk bangunan temporer
dari bambu petung atau batang pinang yang sudah dikupas terlebih dahulu.
Bentuknya dibikin sederhana ruang atas yang dibagi menjadi tiga
ruangan, apabila memakai satu ruangan maka disebutSanggar Surya. Maka
sesuai dengan namanya, maka Sanggar
Tawang berarti sthana di
angkasa, dan fungsinya adalah untuk mensthanakan Hyang Widhi sebagai aspeknya, sebagai Sang Hyang Catur
Lokapala atau Hyang Tri Murti. Oleh umat Hindu sangat diyakini bahwa sthanaNya
yang abadi berada di luhuring
akasa (di atas
angkasa).Setiap aktifitas ritual umat Hindu dari pelaksanaan upacara yang
sederhana (nista) sampai ketingkatan upacara yang besar (utama) senantiasa
dibuatkan Sanggar Surya atau
Sanggar Tawang untuk memohon
kehadiran Hyang Surya guna menyaksikan ketulusan hati umatnya yang sedang
melaksanakan upacara/ Yajna.
Sebagai upasaksi, banten daksina dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila
banten daksina tersebut diletakkan pada Sanggar
Surya atau Sanggar Tawang sebagai
upasaksi, maka sudah jelaslah fungsinya. Biasanya banten daksina di Sanggar Surya ataudi Sanggar Tawang tidak berdiri sendiri, tetapi
melengkapi atau menyertai banten-banten yang lainnya, seperti banten pejati,
banten peras, banten Deva-Devi, catur, suci dan banten lainnya.
g. Daksina sebagai banten pelengkap.
Mengingat daksina sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti
banten pejati, banten pebangkit, banten pulegembal, dan masih banyak
lagi banten yang lainnya yang tidak penulis sebutkan satu-persatu. Hal ini
disebabkan karena upacara/ upakara atau banten yang digunakan dalam suatu
upacara merupakan satu kumpulan ari beberapa jenis banten yang disebut soroh
dan setiap soroh hampir selalu menggunakan daksina sebagai runtutannya. Adapun
kedudukan daksina yang selalu menyertai banten-banten yang yang lain adalah
karena memang unsur yang terdapat dalam daksina sangatlah lengkap, selain itu
daksina merupakan kekuatan atau saktinya suatu Yajna. Dengan kata lain suatu
upakara Yajna akan menjadi sempurna apabila ada daksinenya. Lebih jelas kita
lihat pada upacara Deva Yajna, seperti melaspas, mecaru, Ngenteg Linggih,
Upacara Pujawali, Panca Walikrama dan Eka Dasa Rudra. Adapun urut-urutan rangkaian upacara yang umum
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Upakara Ngatur Piuning memulai karya (Nuasin Karya), upakara Nuur
(Mendak) Tirtha, upakara untuk Serati Banten (ngelinggihang Sang Hyang Tapini)
yaitu Devanya Serati Banten, Upakara RsiBijana, Upakara Mapapada (pada Sanggar
Pesaksi) yang ditujukan kehadapan Siwa Raditya dan Giripati, dan upakara di
bale PaVedan. Adapun banten daksina yang digunakan disesuaikan dengan besar
kecilnya upakara (nista, madya, utama). Namun umumnya pada upacara Deva Yajna
dapat penulis sebutkan di atas masih kebanyakan menggunakan daksina gede atau
daksina pemogpog di samping daksina pelinggih dan daksina alit.
h. Daksina sebagai sarana penebusan :
Daksina juga berfungsi sebagai penebusan atas kekurangan alam upakara
yang dilaksanakan, terletak pada sesari/ uang. Selain itu uang sesari yang
mengandung juga makna simbol ketulusan hati/ sarining
manah. Ada juga yang menyebut daksina pemogpog yang mengandung makna
sebagai menutup bilamana dalam melaksanakan upakara yajna ada kekurangan,
maknanya hampir sama yaitu untuk penebusan.
Penggunaan Daksina Linggih sebagai pralingga di dalam memuja Hyang
Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa dilandasi oleh konsepsi Ketuhanan yang lebih tinggi
dari sebelumnya. Kalau pada jaman Empu Kuturan di Bali pemujaan pada Hyang
Widhi baru hanya sampai tingkat manifestasi beliau yang disebut Deva atau
Bhatara. Maka sejak kedatangan Dangn Hyang Dwijendra ke Bali pemujaan kepada
Hyang Widhi bukan saja melalui Deva/ Bhatara yang merupakan prabawa atau sinar
suci dari Hyang Widhi dapat diwujudkan dalam imajinasi manusia sehingga
diproyeksikan wujud konkrit dalam benda suci yang disebut arca/ pratima sebagai
ekspresi imaginasi abstrak manusia tentang wujud beliau. Maka arca/ pratima itu
berfungsi sebagai pralingga Deva/ Bhatara.
Daksina Pelinggih adalah sebagai Pralingga Hyang Widhi yang merupakan pengganti
dari arca atau pratima. Daksina
Pelinggihmempunyai makna religius karena
merupakan simbolnya dari Hyang Widhi atau merupakan simbolis miniatur kosmis pralingga Hyang Widhi.. Hal ini dilandasi karena
Tuhan bersifat Acintya yang sangat sulit dibayangkan oleh manusia, karena itu
Daksina Pelinggih sebagai miniatur kosmis
pralingga Tuhan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAKSINA adalah salah satu jenis sarana upacara yang dibuat dengan daun
kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali di
sebut wakul daksina. Daksina merupakan salah satu unsur terpenting yang harus
ada dalam suatu kegiatan upacara, berhasil tidaknya suatu upacara / ritual
tergantung dari daksina, maka dari itu daksina merupakan unsur yang sangat
penting dalam suatu kegiatan upacara.
DAFTAR
PUSTAKA
Raras, Niken
Tamang, 2006. DAKSINA, Paramita Surabaya
Susila, I
Nyoman, 2010. MANGGALA UPACARA, Denpasar. Widya Dharma.
No comments:
Post a Comment